
Jakarta –
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerimaan pajak hingga Agustus 2024 sebesar Rp 1.196,54 triliun. Jumlah itu setara dengan 60,16% dari sasaran yg ditetapkan tahun ini Rp 1.988,9 triliun.
Realisasi penerimaan pajak Agustus 2024 itu turun 4,02% dibandingkan periode yang serupa tahun dulu. Meski begitu, penurunannya mulai mengalami perbaikan dibandingkan dua bulan sebelumnya.
“Dari segi penerimaan pajak terdapat gunjingan kasatmata bahwa penerimaan bulan ini dapat mempertahankan saat-ketika perkembangan yang sudah tercipta selama beberapa bulan sebelumnya. Diharapkan tren kasatmata tersebut tetap tersadar di bulan-bulan selanjutnya,” terang Wakil Menteri Keuangan II Thomas Djiwandono dalam meeting pers APBN KiTa di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (23/9/2024).
Thomas yg juga ialah keponakan presiden terpilih Prabowo Subianto merinci, penerimaan pajak asal dari PPh non migas meraih Rp 665,52 triliun atau 62,58% dari target, turun 2,46% dibandingkan periode yang serupa tahun lalu. PPh migas juga turun 10,23% dengan nilai terkumpul Rp 44,45 triliun atau 58,20% dari target.
“PPh non migas terkontraksi akhir pelemahan harga komoditas tahun kemudian yg mengakibatkan profitabilitas tahun 2023 menurun, khususnya pada sektor terkait komoditas. PPh migas terkontraksi akhir penurunan lifting minyak bumi,” tulis materi paparannya.
Di segi yang lain, penerimaan pajak dari PPN & PPnBM naik 7,36% dibandingkan periode yang serupa tahun kemudian dengan nilai Rp 470,81 triliun atau 58,03% dari target. PBB & pajak yang lain bahkan berkembang 34,18% dengan nilai Rp 15,76 triliun atau 41,78% dari target.
Mayoritas jenis pajak utama berkembang kasatmata seiring terjaganya acara ekonomi. Di antaranya PPh 22 impor dan PPN impor, PPh 26, PPh Final, dan PPN dalam negeri bruto. PPh 21 juga berkembang kasatmata seiring dengan utilisasi dan upah tenaga kerja.
Penerimaan pajak yg mengalami penurunan yakni PPh Badan, yg disebabkan penurunan kinerja perusahaan pada 2023 akhir penurunan harga komoditas sehingga pembayaran PPh Badan tahunan dan masanya berkurang.
PPN dalam negeri neto juga terkontraksi akhir kenaikan restitusi khususnya pada sektor industri pengolahan, jual beli dan pertambangan.
“Secara bruto, PPN dalam negeri mencatatkan perkembangan 9% sejalan dengan terjaganya tingkat konsumsi masyarakat. Namun akhir kenaikan usul restitusi buat mendukung cash flow perusahaan, pertumbuhannya secara neto mengalami kontraksi sebesar -4,9% dengan realisasi Rp 275,69 triliun,” terang Thomas.
Dalam peluang tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus 2024 defisit Rp 153,7 triliun. Realisasi itu setara dengan 0,68% kepada Produk Domestik Bruto (PDB).
“Defisit APBN hingga final Agustus yakni Rp 153,7 triliun. Ini artinya 0,68% dari PDB, masih dalam track sesuai dengan UU APBN 2024,” kata Sri Mulyani.
Defisit APBN ini memiliki arti pendapatan lebih kecil dibanding jumlah pengeluaran pemerintah. Meski begitu, dari segi keseimbangan primer tercatat masih surplus Rp 161,8 triliun.
Lebih rinci dijelaskan, pendapatan negara hingga Agustus 2024 terkumpul Rp 1.777 triliun atau turun 2,5% dibandingkan periode yg serupa tahun kemudian (year on year/yoy). Pendapatan itu berasal dari pajak, bea cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Ini artinya 63,4% dari sasaran dan ini kontraksinya 2,5% yoy. Kontraksi ini jauh lebih kecil dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya,” tutur Sri Mulyani.
Saat pendapatan negara turun, belanja negara telah meraih Rp 1.930,7 triliun atau melambung 15,3% dibandingkan periode yang serupa tahun dahulu. Belanja itu berisikan belanja K/L, belanja non K/L dan transfer ke daerah.
“Seperti dipahami 2024 ini sejak permulaan tahun perkembangan dari belanja negara double digit. Ini lantaran kami ada keperluan bagi pemilu, membelanjakan khususnya buat sumbangan sosial El Nino, itu seluruhnya mengakibatkan belanja negara meningkat,” terang Sri Mulyani.